(Jakarta(TAMPAHAN.COM)Dalam beberapa minggu terakhir, wacana mengenai reposisi Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Polri) kembali mengemuka. Gagasan ini muncul dalam
berbagai forum akademik dan ruang publik, yang pada intinya mempertanyakan
apakah Polri sebaiknya berada di bawah Presiden atau ditempatkan di bawah suatu
kementerian, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum atau
Kementerian Keamanan Dalam Negeri (bila dibentuk di masa depan).
Wacana semacam ini bukanlah hal baru. Sejak masa awal reformasi, isu
kedudukan Polri telah menjadi bagian dari perdebatan besar tentang reformasi
sektor keamanan (security sector reform). Namun, dalam konteks politik hukum dan
tata negara Indonesia, setiap perubahan terhadap struktur kelembagaan Polri tidak
hanya menyangkut aspek efisiensi birokrasi, tetapi juga berimplikasi terhadap
keseimbangan kekuasaan, prinsip negara hukum, dan karakter demokrasi
konstitusional yang dibangun sejak 1998.
Kerangka Konstitusional Kedudukan Polri
UUD Negara republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) secara eksplisit
dalam Pasal 30 ayat (4) menegaskan bahwa "Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum". Formulasi
norma konstitusi ini meneguhkan bahwa Polri adalah "alat negara", bukan alat pemerintahan atau alat kekuasaan tertentu.
Sebagai konsekuensinya, secara normatif Pasal 8 UU Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) memposisikan Polri berada di bawah Presiden,
dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada
Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam praktik ketatanegaraan, posisi sebagai alat negara di bawah Presiden
meneguhkan dua prinsip penting, yakni: (1) Polri berada di luar subordinasi politik
sektoral kementerian, dan (2) tanggung jawabnya bersifat langsung kepada
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di bidang eksekutif
sebagaimana digariskan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
Dengan demikian, menempatkan Polri di bawah kementerian justru
mereduksi otonomi konstitusional Polri, serta memunculkan kembali pola
subordinasi politik yang telah dihapuskan melalui reformasi 1998 ketika Polri
dipisahkan dari TNI. Reposisi ke bawah kementerian akan menempatkan Polri
sebagai "alat eksekutif" bukan "alat negara" sebagaimana yang dikehendaki
konstitusi, yang menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat secara
independen.
Tidak hanya itu, reposisi Polri di bawah kementerian tidak hanya memerlukan
perubahan undang-undang, tetapi juga reorientasi terhadap desain konstitusional
kekuasaan eksekutif. Dalam teori hukum konstitusi, struktur lembaga yang secara eksplisit disebut dalam UUD tidak dapat diubah secara substantif tanpa
amandemen konstitusi.
Ini langkah besar yang justru berpotensi menimbulkan
instabilitas hukum dan ketatanegaraan.
Rasionalitas Konstitusional
Dalam perspektif politik hukum, desain kelembagaan Polri pascareformasi
mencerminkan rasionalitas konstitusional dan demokratis. Pemisahan Polri dari TNI
pada tahun 1999 melalui TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 dan TAP MPR Nomor
VII/MPR/2000 merupakan tonggak politik hukum yang menegaskan demiliterisasi
fungsi keamanan dalam negeri dan memperkuat orientasi Polri sebagai kekuatan
sipil profesional.
Rasionalitas politik hukumnya jelas bahwa TNI berperan dalam pertahanan
negara terhadap ancaman eksternal, dan Polri berperan dalam keamanan dan
ketertiban masyarakat terhadap ancaman internal. Kedua "alat negara" ini bersifat
komplementer, bukan subordinatif. Bila Polri ditempatkan di bawah kementerian,
maka akan muncul risiko duplikasi kewenangan, fragmentasi komando, dan
politisasi keamanan.
Sebagai contoh, dalam sistem presidensial, tanggung jawab keamanan
nasional secara prinsip adalah tanggung jawab Presiden. Maka, menempatkan Polri
di bawah menteri justru akan memutus garis komando langsung antara Presiden
dan aparat penegak hukum utama negara.
Bagaimana pun, politik hukum di republik ini telah memilih jalur yang
konstitusional dan stabil dengan menempatkan Polri di bawah Presiden, sementara pengawasannya dilakukan secara horizontal oleh DPR, Kompolnas, maupun
masyarakat sipil.
Relasi Kekuasaan & Governance
Reposisi Polri ke bawah kementerian juga akan menimbulkan asimetri dalam
melaksanakan mekanisme check and balances. Saat ini, sistem keseimbangan
kekuasaan dalam hal keamanan berjalan dengan baik. Hal ini tergambar bahwa (1)
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan; (2) DPR memiliki fungsi
pengawasan dan anggaran; dan (3) Kompolnas sebagai lembaga nonstruktural
memberi masukan kebijakan dan menerima pengaduan publik.
Apabila Polri berada di bawah kementerian, maka kontrol politik akan
berlapis dan berpotensi menimbulkan "bias kekuasaan ganda", di mana kebijakan
keamanan bisa dipengaruhi oleh agenda sektoral kementerian yang tidak selalu
sejalan dengan kepentingan umum atau prinsip negara hukum. Kondisi ini tentu
bisa melemahkan efektivitas kontrol publik, karena jalur pertanggungjawaban
menjadi tidak langsung lagi ke Presiden maupun DPR.
Selain itu, dari aspek governance, Polri sebagai lembaga penegak hukum
memiliki fungsi quasi-yudisial (penyelidikan dan penyidikan). Menempatkannya di
bawah kementerian berarti menggabungkan fungsi politik (eksekutif sektoral)
dengan fungsi hukum, yang berpotensi melanggar prinsip pemisahan kekuasaan fungsional.
Argumen dari segelintir pihak yang menyatakan bahwa reposisi Polri di
bawah kementerian dapat meningkatkan koordinasi dan efisiensi kebijakan
keamanan nasional, justru tidak berdasar secara administratif maupun empiris.
Koordinasi lintas lembaga saat ini sudah difasilitasi oleh mekanisme rapat kabinet,
dan koordinasi rutin antara Kapolri, Menkopolkam, dan Panglima TNI. Lagi pula
masalah koordinasi bukan soal struktur, melainkan soal tata kelola, integritas, dan
komunikasi antar lembaga.
Polri sendiri secara administratif telah memiliki sistem manajemen
terintegrasi dari pusat hingga daerah yang justru akan menjadi tumpul bila
diletakkan di bawah struktur birokrasi kementerian yang hierarkis dan lambat.
Transformasi, Bukan Reposisi
Secara historis, penempatan Polri di bawah Presiden adalah hasil dari
pergulatan panjang reformasi 1998 yang bertujuan mengakhiri militerisasi politik di
bidang keamanan domestik. Sebelum reformasi, Polri merupakan bagian integral
dari ABRI, sehingga kebijakan keamanan cenderung berorientasi pada stabilitas
politik ketimbang perlindungan hak konstitusional warga negara.
Setelah reformasi, paradigma berubah. Polri dituntut menjadi institusi sipil
profesional, yang bekerja berdasarkan hukum, menjunjung tinggi hak asasi manusia,
dan berorientasi pada pelayanan publik. Reposisi ini memperjelas diferensiasi
fungsi pertahanan dan keamanan dalam kerangka check and balances antara
institusi strategis negara. Reposisi ke bawah kementerian justru akan berisiko
mengembalikan logika lama, bahwa keamanan adalah bagian dari urusan politik
sektoral pemerintah, bukan urusan hukum dan hak warga negara.
Hanya saja harus diakui, reformasi Polri yang dimulai sejak 1999 baru
berhenti pada level "penataan organisasi", belum menyentuh inti persoalan yaitu
pelembagaan "nilai sipil" (civilian values). Reformasi Polri lebih bersifat strukturalformal, belum sampai pada tahap transformasi nilai. Nilai sipil (civilian value) yang
seharusnya mendasari keberadaan Polri dalam negara hukum demokratis
tampaknya belum terinternalisasi secara substantif.
Reformasi
yang
lebih
menekankan
aspek
struktural-formal justru
menghasilkan kesenjangan konstitusional, secara hukum Polri adalah aparat sipil,
namun secara kultural masih mewarisi nilai dan tradisi militer. Akibatnya, Polri
berada dalam posisi ambigu, di satu sisi dituntut melayani masyarakat secara
humanis, tetapi di sisi lain masih terbiasa mengedepankan logika kekuasaan dan
pendekatan represif. Absennya transformasi nilai sipil berpotensi melahirkan
distorsi fungsi Polri, yakni kembali menjadi alat kekuasaan negaara, bukan
instrumen demokrasi.
Kondisi inilah yang perlu ditransformasi Polri sebagai bagian dari reformasi
institusional Polri sesuai dengan kehendak sejarah. Agenda mendesak untuk
dilakukan bukan mengaungkan reposisi, melainkan membumikan nilai-nilai sipil
dalam spirit kerja-kerja Polri menuju Polri yang profesional sebagai "alat negara".
Bukan dengan mendengungkan wacana reposisi Polri di bawah kementerian, yang
justru tidak menyelesaikan akar masalahnya.
Dibutuhkan saat ini adalah bagaimana meneguhkan desain kelembagaan
Polri sesuai dengan original intent konstitusi, dan pada saat yang sama mendorong
akselerasi transformasi nilai-nilai sipil dalam segenap segi-segi fungsi, kedudukan,
dan peran Polri dalam sistem ketatanegaraan. Tantangan Polri bukanlah soal posisi
kelembagaan, tetapi bagaimana menjamin agar setiap tindakan dan kebijakan
kepolisian sebagai institusi sipil profesional, selaras dengan prinsip hukum,
moralitas publik, dan nilai demokrasi.
Refleksi Kritis
Reposisi Polri bukan sekadar persoalan teknokratis, melainkan persoalan
filosofis dan konstitusional. Polri adalah pilar utama penegakan hukum yang
menjadi
penyeimbang
antara
kekuasaan
warga
dan
kekuasaan
negara.
Menempatkan Polri di bawah kementerian sama dengan menggeser orientasi dari
rule of law menjadi rule by government. Dalam demokrasi konstitusional, hukum
harus berdiri di atas kekuasaan, bukan di bawahnya.
Reposisi Polri di bawah kementerian bukan solusi atas tantangan reformasi
Polri. Sebaliknya, justru dapat menciptakan overpoliticization of security dan
undermining of contsitutional design. Kedudukan Polri di bawah Presiden telah teruji
secara hukum, historis, dan politik, serta sesuai dengan prinsip check and balances
Yang menjadi fondasi negara hukum demokratis.
Reformasi Polri ke depan harus diarahkan untuk memperkuat karakter sipil
dan profesional, bukan untuk menempatkan Polri dalam orbit politik sektoral.
Presiden sebagai kepala pemerintahan negara tetap menjadi pemegang komando
tertinggi atas kebijakan keamanan nasional, sementara pengawasan tetap dijaga
melalui kontrol legislatif dan publik.
Dalam konteks ini, arah reformasi Polri seharusnya adalah memperkuat
profesionalitas, etika, dan integritas institusional yang diselimuti spirit nilai sipil
(civilian value), bukan mengubah desain konstitusionalnya. Menjaga Polri tetap di
bawah Presiden bukan sekadar pilihan administratif, melainkan komitmen terhadap
amanat reformasi dan keluhuran konstitusi(TIM/RED)
Negara Republik Indonesia (Polri) kembali mengemuka. Gagasan ini muncul dalam
berbagai forum akademik dan ruang publik, yang pada intinya mempertanyakan
apakah Polri sebaiknya berada di bawah Presiden atau ditempatkan di bawah suatu
kementerian, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum atau
Kementerian Keamanan Dalam Negeri (bila dibentuk di masa depan).
Wacana semacam ini bukanlah hal baru. Sejak masa awal reformasi, isu
kedudukan Polri telah menjadi bagian dari perdebatan besar tentang reformasi
sektor keamanan (security sector reform). Namun, dalam konteks politik hukum dan
tata negara Indonesia, setiap perubahan terhadap struktur kelembagaan Polri tidak
hanya menyangkut aspek efisiensi birokrasi, tetapi juga berimplikasi terhadap
keseimbangan kekuasaan, prinsip negara hukum, dan karakter demokrasi
konstitusional yang dibangun sejak 1998.
Kerangka Konstitusional Kedudukan Polri
UUD Negara republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) secara eksplisit
dalam Pasal 30 ayat (4) menegaskan bahwa "Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum". Formulasi
norma konstitusi ini meneguhkan bahwa Polri adalah "alat negara", bukan alat pemerintahan atau alat kekuasaan tertentu.
Sebagai konsekuensinya, secara normatif Pasal 8 UU Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) memposisikan Polri berada di bawah Presiden,
dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada
Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam praktik ketatanegaraan, posisi sebagai alat negara di bawah Presiden
meneguhkan dua prinsip penting, yakni: (1) Polri berada di luar subordinasi politik
sektoral kementerian, dan (2) tanggung jawabnya bersifat langsung kepada
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di bidang eksekutif
sebagaimana digariskan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
Dengan demikian, menempatkan Polri di bawah kementerian justru
mereduksi otonomi konstitusional Polri, serta memunculkan kembali pola
subordinasi politik yang telah dihapuskan melalui reformasi 1998 ketika Polri
dipisahkan dari TNI. Reposisi ke bawah kementerian akan menempatkan Polri
sebagai "alat eksekutif" bukan "alat negara" sebagaimana yang dikehendaki
konstitusi, yang menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat secara
independen.
Tidak hanya itu, reposisi Polri di bawah kementerian tidak hanya memerlukan
perubahan undang-undang, tetapi juga reorientasi terhadap desain konstitusional
kekuasaan eksekutif. Dalam teori hukum konstitusi, struktur lembaga yang secara eksplisit disebut dalam UUD tidak dapat diubah secara substantif tanpa
amandemen konstitusi.
Ini langkah besar yang justru berpotensi menimbulkan
instabilitas hukum dan ketatanegaraan.
Rasionalitas Konstitusional
Dalam perspektif politik hukum, desain kelembagaan Polri pascareformasi
mencerminkan rasionalitas konstitusional dan demokratis. Pemisahan Polri dari TNI
pada tahun 1999 melalui TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 dan TAP MPR Nomor
VII/MPR/2000 merupakan tonggak politik hukum yang menegaskan demiliterisasi
fungsi keamanan dalam negeri dan memperkuat orientasi Polri sebagai kekuatan
sipil profesional.
Rasionalitas politik hukumnya jelas bahwa TNI berperan dalam pertahanan
negara terhadap ancaman eksternal, dan Polri berperan dalam keamanan dan
ketertiban masyarakat terhadap ancaman internal. Kedua "alat negara" ini bersifat
komplementer, bukan subordinatif. Bila Polri ditempatkan di bawah kementerian,
maka akan muncul risiko duplikasi kewenangan, fragmentasi komando, dan
politisasi keamanan.
Sebagai contoh, dalam sistem presidensial, tanggung jawab keamanan
nasional secara prinsip adalah tanggung jawab Presiden. Maka, menempatkan Polri
di bawah menteri justru akan memutus garis komando langsung antara Presiden
dan aparat penegak hukum utama negara.
Bagaimana pun, politik hukum di republik ini telah memilih jalur yang
konstitusional dan stabil dengan menempatkan Polri di bawah Presiden, sementara pengawasannya dilakukan secara horizontal oleh DPR, Kompolnas, maupun
masyarakat sipil.
Relasi Kekuasaan & Governance
Reposisi Polri ke bawah kementerian juga akan menimbulkan asimetri dalam
melaksanakan mekanisme check and balances. Saat ini, sistem keseimbangan
kekuasaan dalam hal keamanan berjalan dengan baik. Hal ini tergambar bahwa (1)
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan; (2) DPR memiliki fungsi
pengawasan dan anggaran; dan (3) Kompolnas sebagai lembaga nonstruktural
memberi masukan kebijakan dan menerima pengaduan publik.
Apabila Polri berada di bawah kementerian, maka kontrol politik akan
berlapis dan berpotensi menimbulkan "bias kekuasaan ganda", di mana kebijakan
keamanan bisa dipengaruhi oleh agenda sektoral kementerian yang tidak selalu
sejalan dengan kepentingan umum atau prinsip negara hukum. Kondisi ini tentu
bisa melemahkan efektivitas kontrol publik, karena jalur pertanggungjawaban
menjadi tidak langsung lagi ke Presiden maupun DPR.
Selain itu, dari aspek governance, Polri sebagai lembaga penegak hukum
memiliki fungsi quasi-yudisial (penyelidikan dan penyidikan). Menempatkannya di
bawah kementerian berarti menggabungkan fungsi politik (eksekutif sektoral)
dengan fungsi hukum, yang berpotensi melanggar prinsip pemisahan kekuasaan fungsional.
Argumen dari segelintir pihak yang menyatakan bahwa reposisi Polri di
bawah kementerian dapat meningkatkan koordinasi dan efisiensi kebijakan
keamanan nasional, justru tidak berdasar secara administratif maupun empiris.
Koordinasi lintas lembaga saat ini sudah difasilitasi oleh mekanisme rapat kabinet,
dan koordinasi rutin antara Kapolri, Menkopolkam, dan Panglima TNI. Lagi pula
masalah koordinasi bukan soal struktur, melainkan soal tata kelola, integritas, dan
komunikasi antar lembaga.
Polri sendiri secara administratif telah memiliki sistem manajemen
terintegrasi dari pusat hingga daerah yang justru akan menjadi tumpul bila
diletakkan di bawah struktur birokrasi kementerian yang hierarkis dan lambat.
Transformasi, Bukan Reposisi
Secara historis, penempatan Polri di bawah Presiden adalah hasil dari
pergulatan panjang reformasi 1998 yang bertujuan mengakhiri militerisasi politik di
bidang keamanan domestik. Sebelum reformasi, Polri merupakan bagian integral
dari ABRI, sehingga kebijakan keamanan cenderung berorientasi pada stabilitas
politik ketimbang perlindungan hak konstitusional warga negara.
Setelah reformasi, paradigma berubah. Polri dituntut menjadi institusi sipil
profesional, yang bekerja berdasarkan hukum, menjunjung tinggi hak asasi manusia,
dan berorientasi pada pelayanan publik. Reposisi ini memperjelas diferensiasi
fungsi pertahanan dan keamanan dalam kerangka check and balances antara
institusi strategis negara. Reposisi ke bawah kementerian justru akan berisiko
mengembalikan logika lama, bahwa keamanan adalah bagian dari urusan politik
sektoral pemerintah, bukan urusan hukum dan hak warga negara.
Hanya saja harus diakui, reformasi Polri yang dimulai sejak 1999 baru
berhenti pada level "penataan organisasi", belum menyentuh inti persoalan yaitu
pelembagaan "nilai sipil" (civilian values). Reformasi Polri lebih bersifat strukturalformal, belum sampai pada tahap transformasi nilai. Nilai sipil (civilian value) yang
seharusnya mendasari keberadaan Polri dalam negara hukum demokratis
tampaknya belum terinternalisasi secara substantif.
Reformasi
yang
lebih
menekankan
aspek
struktural-formal justru
menghasilkan kesenjangan konstitusional, secara hukum Polri adalah aparat sipil,
namun secara kultural masih mewarisi nilai dan tradisi militer. Akibatnya, Polri
berada dalam posisi ambigu, di satu sisi dituntut melayani masyarakat secara
humanis, tetapi di sisi lain masih terbiasa mengedepankan logika kekuasaan dan
pendekatan represif. Absennya transformasi nilai sipil berpotensi melahirkan
distorsi fungsi Polri, yakni kembali menjadi alat kekuasaan negaara, bukan
instrumen demokrasi.
Kondisi inilah yang perlu ditransformasi Polri sebagai bagian dari reformasi
institusional Polri sesuai dengan kehendak sejarah. Agenda mendesak untuk
dilakukan bukan mengaungkan reposisi, melainkan membumikan nilai-nilai sipil
dalam spirit kerja-kerja Polri menuju Polri yang profesional sebagai "alat negara".
Bukan dengan mendengungkan wacana reposisi Polri di bawah kementerian, yang
justru tidak menyelesaikan akar masalahnya.
Dibutuhkan saat ini adalah bagaimana meneguhkan desain kelembagaan
Polri sesuai dengan original intent konstitusi, dan pada saat yang sama mendorong
akselerasi transformasi nilai-nilai sipil dalam segenap segi-segi fungsi, kedudukan,
dan peran Polri dalam sistem ketatanegaraan. Tantangan Polri bukanlah soal posisi
kelembagaan, tetapi bagaimana menjamin agar setiap tindakan dan kebijakan
kepolisian sebagai institusi sipil profesional, selaras dengan prinsip hukum,
moralitas publik, dan nilai demokrasi.
Refleksi Kritis
Reposisi Polri bukan sekadar persoalan teknokratis, melainkan persoalan
filosofis dan konstitusional. Polri adalah pilar utama penegakan hukum yang
menjadi
penyeimbang
antara
kekuasaan
warga
dan
kekuasaan
negara.
Menempatkan Polri di bawah kementerian sama dengan menggeser orientasi dari
rule of law menjadi rule by government. Dalam demokrasi konstitusional, hukum
harus berdiri di atas kekuasaan, bukan di bawahnya.
Reposisi Polri di bawah kementerian bukan solusi atas tantangan reformasi
Polri. Sebaliknya, justru dapat menciptakan overpoliticization of security dan
undermining of contsitutional design. Kedudukan Polri di bawah Presiden telah teruji
secara hukum, historis, dan politik, serta sesuai dengan prinsip check and balances
Yang menjadi fondasi negara hukum demokratis.
Reformasi Polri ke depan harus diarahkan untuk memperkuat karakter sipil
dan profesional, bukan untuk menempatkan Polri dalam orbit politik sektoral.
Presiden sebagai kepala pemerintahan negara tetap menjadi pemegang komando
tertinggi atas kebijakan keamanan nasional, sementara pengawasan tetap dijaga
melalui kontrol legislatif dan publik.
Dalam konteks ini, arah reformasi Polri seharusnya adalah memperkuat
profesionalitas, etika, dan integritas institusional yang diselimuti spirit nilai sipil
(civilian value), bukan mengubah desain konstitusionalnya. Menjaga Polri tetap di
bawah Presiden bukan sekadar pilihan administratif, melainkan komitmen terhadap
amanat reformasi dan keluhuran konstitusi(TIM/RED)