Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Netralitas Polri, Persepsi Politik, dan Hak Prerogatif Presiden

Rabu, 23 April 2025 | Rabu, April 23, 2025 WIB Last Updated 2025-04-23T02:00:07Z

Jakarta(TAMPAHAN.COM)Opini publik kembali digelitik oleh wacana reshuffle kabinet dan dorongan penggantian Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang mencuat seiring dinamika transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden terpilih Prabowo Subianto. Sorotan atas hubungan personal antara Kapolri dan Presiden Jokowi yang kerap diungkit sebagai alasan untuk memperkuat tudingan ketidaknetralan institusi kepolisian, memang menjadi isu yang seksi, tetapi perlu dicermati secara hati-hati.


Dalam optik hukum tata negara Indonesia, posisi Kapolri bukan sekedar jabatan teknis administratif, melainkan jabatan strategis yang lekat dengan fungsi penegakan hukum dan penjaga stabilitas demokrasi. Oleh karena itu, pengangkatan dan penggantian Kapolri diatur dengan mekanisme konstitusional melalui hak prerogatif presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UUD NRI Tahun 1945 serta dioperasionalkan dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penggantian pimpinan Polri semestinya diputuskan berdasarkan logika konstitusi, disesuaikan dengan kebutuhan institusional, profesionalisme, serta tantangan keamanan nasional, bukan karena tekanan opini atau spekulasi politik masa lalu.


Isu kedekatan pribadi antara pejabat dengan presiden adalah keniscayaan dalam politik birokrasi, namun tidak secara otomatis mencerminkan keberpihakan institusi. Polri telah memiliki sistem pengawasan internal, kode etik, dan mekanisme kontrol demokratis melalui Komisi Kepolisian Nasional, hingga pengawasan parlemen.


Lebih dari itu hubungan historis antara Kapolri dan Presiden sebelumnya, dalam batas yang wajar, adalah konsekuensi dari sistem karier dan rotasi jabatan dalam struktur Polri. Kedekatan itu tidak secara otomatis menegasikan profesionalisme institusi, terlebih dalam konteks pengawasan dan sistem pengendalian internal Polri yang diatur secara ketat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Oleh karena itu, setiap penilaian tentang netralitas harus berbasis fakta dan proses, bukan asumsi semata. Dalam konteks demikian, penggantian pejabat publik, termasuk Kapolri, tidak boleh semata-mata dipicu oleh sentimen atau opini yang berkembang di ruang publik atau penilaian personal atas kedekatan figur, melainkan harus berdasarkan evaluasi kinerja yang sah, terukur, dan sesuai dengan prinsip kebutuhan institusional.


Sementara itu pertemuan peserta Sespimmen Polri dengan Presiden ke -7 Joko Widodo di Solo beberapa waktu yang lalu, yang belakangan menjadi sorotan, seharusnya dibaca dan dipahami dalam kerangka pendidikan dan wawasan kepemimpinan – bukan dinarasikan politis secara sepihak. Kehadiran para perwira menengah dalam forum silaturahmi bukanlah pelanggaran hukum, melainkan bagian dari tradisi pembelajaran dan pengayaan perspektif kebangsaan yang juga berlaku dalam kultur pendidikan TNI maupun Polri di berbagai angkatan.


Meski demikian, penting juga untuk diingat bahwa menjaga netralitas institusi seperti Polri tidak cukup berhenti pada klaim profesionalisme semata. 


Institusi Polri harus terus menerus memperkuat budaya transparansi, reformasi birokrasi, dan pengawasan publik berbasis partisipasi yang akuntabel.


Netralitas bukan hanya soal ketidakberpihakan pada kekuasaan, tetapi juga soal keberanian menegakkan hukum tanpa pandang bulu, termasuk kepada pihak-pihak yang berada di lingkaran kekuasaan. Di sinilah letak komitmen moral dan hukum yang harus menjadi fondasi institusi Polri dalam menjawab tantangan zaman.


Justru dalam era transisi kekuasaan, penting bagi publik dan elite politik untuk menjaga ruang netralitas institusi Polri agar tidak terseret dalam pusaran tafsir politik praktis yang justru berisiko memperlemah kepercayaan publik.


Profesionalisme kepolisian bukan ditentukan oleh relasi personal antar individu, melainkan oleh komitmen pada hukum, netralitas dalam tindakan, dan loyalitas kepada negara di atas kepentingan siapa pun yang berkuasa.


Dalam sistem demokrasi konstitusional, kritik adalah bagian tak terpisahkan dari kontrol publik. Namun menjaga marwah dan netralitas Polri sebagai institusi sipil yang profesional jauh lebih penting daripada membiarkan opini liar yang belum teruji kebenarannya menjadi dasar dalam menentukan arah kebijakan negara. Kita perlu berhati-hati membedakan antara persepsi yang dibangun oleh narasi politik dan realitas objektif yang diatur oleh konstitusi. 


Lebih dari itu, demokrasi yang sehat tidak hanya menuntut netralitas institusi negara, tetapi juga menuntut kedewasaan aktor politik dalam menempatkan kritik pada jalur konstitusi yang sah. Tekanan yang lahir dari persepsi politik tanpa disertai pembuktian hukum hanya akan melemahkan kualitas demokrasi, sementara penegakan hukum yang lemah atas nama netralitas justru berpotensi merusak kepercayaan publik.


Netralitas Polri adalah amanah yang dijaga oleh sistem hukum, sementara penggantian Kapolri adalah hak prerogatif presiden yang sah dan harus diputuskan dengan pertimbangan konstitusional, bukan sekedar desakan persepsi yang belum tentu berbasis kebenaran.


Dalam negara hukum yang demokratis, suara kritik dan penegakan netralitas bukan hal yang bertentangan. Ketika keduanya berjalan pada rel yang selaras, itulah fondasi kokoh bagi terbangunnya negara demokrasi yang stabil dan berkeadaban.


Penulis : Dr. Bachtiar (Dosen HTN-HAN Fakultas Hukum UNPAM)

×
Berita Terbaru Update