Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Suara Purnawirawan: Koreksi Moral atau Tekanan Politik

Rabu, 23 April 2025 | Rabu, April 23, 2025 WIB Last Updated 2025-04-23T02:12:44Z

Jakarta(TAMPAHAN.COM)Dalam sistem demokrasi, setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat, termasuk para purnawirawan TNI yang secara moral masih merasa bertanggung jawab atas arah perjalanan bangsa. Hal inilah yang tergambar dari delapan poin pernyataan Forum Purnawirawan TNI baru-baru ini, yang menyerukan revisi UUD NRI Tahun 1945, evaluasi proyek strategis nasional, pengembalian fungsi Polri sebagai penjaga keamanan publik, hingga reshuffle kabinet dan penggantian wakil presiden.


Pernyataan ini menarik karena disampaikan oleh tokoh-tokoh militer senior yang memiliki rekam jejak panjang dalam sejarah pertahanan negara, termasuk mantan wakil presiden, mantan kepala staf angkatan, hingga pejabat tinggi purnawirawan lain. Di satu sisi, pernyataan mereka mencerminkan keresahan moral terhadap dinamika kebijakan nasional, khususnya menyangkut kedaulatan negara, pengelolaan kekayaan alam, hingga integritas pemerintahan. Namun di sisi lain, publik juga layak bertanya, apakah suara ini murni dorongan moral, atau telah memasuki ranah tekanan politik yang bertujuan memengaruhi pengambilan keputusan di pusat kekuasaan?

Beberapa poin kritik memang patut diapresiasi, terutama soal pengembalian Polri ke peran netral sebagai penjaga keamanan masyarakat sipil, bukan alat kekuasaan politik. Ini adalah agenda penting dalam menjaga marwah demokrasi dan supremasi hukum. Begitu pula evaluasi terhadap proyek strategis nasional yang dinilai berpotensi menimbulkan konflik agraria, seperti PIK-2 atau Rempang, yang jelas membutuhkan penanganan lebih sensitif oleh pemerintah pusat demi menghindari ketidakadilan bagi masyarakat terdampak.


Namun, sejumlah poin lain justru membuka ruang tafsir politis yang lebih dalam. Misalnya, desakan resfuffle menteri yang dianggap “berkepentingan politik” dengan mantan Presiden Jokowi, serta usulan mengganti Wakil Presiden karena diduga tidak konstitusional. Desakan semacam ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah ini murni koreksi kebangsaan, atau bagian dari upaya mendikte jalannya pemerintahan baru di luar mekanisme konstitusi? 

Kritik yang dilayangkan para purnawirawan adalah agenda diskusi penting dalam ruang demokrasi, namun perlu dibaca dalam konteks yang hati-hati, di satu sisi sebagai suara moral, di sisi lain berpotensi dibaca sebagai tekanan politik yang mengandung konsekuensi serius. 


Di sinilah pentingnya membedakan antara aspirasi politik yang sah dengan potensi intervensi terhadap otoritas sipil dan institusi negara.

Dalam demokrasi konstitusional, koreksi kebijakan adalah ruang konstitusional yang dibuka lewat mekanisme check and balances, pengawasan parlemen, judicial review, hingga pengujian kebijakan publik oleh lembaga peradilan.


 Dengan kata lain, berbagai kritik yang disuarakan anak bangsa perlu diuji dengan asas dan jalur hukum formal, bukan hanya dalam pernyataan politik. Semua anak bangsa dituntut memperkuat demokrasi dengan menyalurkan kritik lewat jalur yang konstitusional dan bukan sekedar lewat tekanan simbolik yang bisa berpotensi menimbulkan kegaduhan politik. Kritik yang sehat harus diarahkan untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi negara, bukan sebaliknya menciptakan ketidakpastian politik dan memperlemah legitimasi negara.

Pernyataan forum purnawirawan ini menunjukkan bahwa demokrasi kita sedang diuji oleh banyak suara dan kepentingan.


 Jika kritik ini diarahkan untuk memperkuat jalannya demokrasi, tentu publik mendukungnya sebagai suara moral bangsa. Namun bila berubah menjadi tekanan politis yang mengintervensi hak prerogatif presiden, atau bahkan memantik ketidakpercayaan publik terhadap stabilitas negara, justru dikhawatirkan akan menciptakan ketegangan baru yang tidak produktif. 


Di sini tugas negara adalah meresponnya dengan cara yang tidak emosional, tetapi tunduk pada hukum dan tata kelola yang akuntabel. Negara tetap harus memastikan bahwa jalur perbaikan kebijakan tidak didikte oleh tekanan moral-politik dari kelompok manapun, melainkan dituntun oleh mekanisme konstitusi, pengawasan lembaga negara, dan partisipasi publik yang sah. 


Suara dari forum purnawirawan memang layak menjadi bahan renungan bagi pemerintah, namun kehendak konstitusi adalah panglima tertinggi dalam demokrasi konstitusional. Oleh karena itu, bangsa ini butuh kepemimpinan yang berani mendengarkan sekaligus bijak dalam mengambil keputusan berdasarkan logika konstitusi, bukan tekanan persepsi. Kritik adalah tanda sehatnya demokrasi, tetapi ketegasan menjaga konstitusi adalah pondasi keutuhan negara. 


Suara kritis sekalipun harus ditempatkan dalam koridor hukum dan etika kebangsaan yang menjaga stabilitas, bukan menambah ketegangan, apalagi Indonesia sedang berada di titik transisi politik yang sensitif.


 Pemerintahan yang kuat bukan berarti kebal kritik, namun juga tidak bisa tunduk pada desakan yang tidak sejalan dengan desain politik hukum konstitusi. Dalam demokrasi konstitusional, kehendak rakyat dibingkai oleh hukum, dan dalam negara hukum, konstitusi adalah kompas yang tak boleh goyah.


Kehendak konstitusi harus tetap menjadi bintang pemandu bagi negara dalam mengambil keputusan, dalam memperkokoh desain demokrasi konstitusional yang telah menjadi konsensus bersama anak bangsa yang telah terkristalisasi dalam konstitusi.



Penulis : Dr. Bachtiar (Dosen HTN-HAN Fakultas Hukum UNPAM)

×
Berita Terbaru Update