Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Keadilan yang Seolah Sangat SULiT Untuk Didapati Oleh Ambarita (WARTAWAN) ?

Senin, 10 November 2025 | Senin, November 10, 2025 WIB Last Updated 2025-11-10T16:15:07Z
KAB.BEKASi(TAMPAHAN.COM)Memperingati Hari Pahlawan Nasional yang jatuh pada 10 November 2025, Diori Parulian Ambarita, selaku Dewan Pengawas (Dewas) DUA Forum Wartawan Jaya Indonesia (FWJI), menyampaikan pesan reflektif tentang makna kepahlawanan di era modern.


Menurut Ambar, sapaan akrabnya bahwa perjuangan hari ini tidak lagi di medan perang, melainkan di medan informasi dan kebenaran. Ia menegaskan bahwa wartawan juga merupakan pahlawan masa kini, karena mereka berjuang menjaga nurani publik melalui pena dan berita yang jujur.


“Wartawan adalah pahlawan zaman sekarang. Mereka tidak mengangkat senjata, tetapi mengangkat kebenaran. Di tengah derasnya arus informasi dan hoaks, tugas wartawan menjaga objektivitas adalah bentuk perjuangan yang nyata,” ujar Diori Parulian Ambarita pada, Senin (10/11/2025).


Dirinya juga mengajak seluruh insan pers untuk terus berpegang pada prinsip etika jurnalistik, menegakkan nilai keadilan, serta menjadi penyambung suara rakyat.


“Semangat Hari Pahlawan harus menjadi energi moral bagi wartawan agar terus berkarya dan mengabdi bagi bangsa. Pers yang kuat adalah cermin bangsa yang beradab,” tambahnya.


Peringatan Hari Pahlawan 10 November tahun ini menjadi momentum untuk meneguhkan kembali semangat perjuangan, bahwa setiap profesi memiliki medan juangnya masing-masing - dan bagi wartawan, medan itu adalah kebenaran


Sementara sebelumnya, diketahui bahwa setiap tanggal 2 November, dunia memperingati Hari Internasional untuk Mengakhiri Impunitas atas Kejahatan terhadap Jurnalis. Momen ini menjadi refleksi global tentang pentingnya perlindungan terhadap mereka yang mendedikasikan diri mengungkap fakta dan menegakkan kebenaran. Namun di tengah peringatan tersebut, kisah getir datang dari Kabupaten Bekasi, Jawa Barat — tempat di mana seorang jurnalis investigasi, Diori Parulian Ambarita, masih menunggu keadilan yang tak kunjung datang.



Nama Diori Parulian Ambarita atau akrab disapa Ambar, bukan sosok asing di kalangan insan pers Bekasi. Ia dikenal sebagai Dewan Pengawas Dua Forum Wartawan Jaya Indonesia (FWJI), seorang wartawan investigasi yang aktif meliput isu-isu sensitif: mulai dari dugaan praktik mafia pangan, penyalahgunaan anggaran daerah, hingga peredaran produk makanan kadaluarsa di wilayah industri Bekasi.


Ketekunannya dalam memburu kebenaran menjadikannya salah satu jurnalis lokal paling disegani sekaligus paling berisiko. Namun idealisme yang ia pegang teguh itu justru membawa bahaya.


Tahun 2025 menjadi tahun kelam bagi Diori Parulian Ambarita. Dalam dua peristiwa terpisah — Januari dan September — ia menjadi korban kriminal saat menjalankan tugas jurnalistik investigatif. Kasusnya kini menjadi simbol nyata bagaimana kekerasan terhadap jurnalis masih marak, dan bagaimana lambannya penegakan hukum membuka luka lama bernama impunitas.


Awal tahun 2025 seharusnya menjadi momen kerja baru bagi para jurnalis di Bekasi, termasuk Diori. Saat itu, ia sedang melakukan liputan investigatif mengenai peredaran makanan kadaluarsa di beberapa pasar dan toko swalayan wilayah Babelan, Kabupaten Bekasi. Dugaan kuat muncul bahwa sejumlah oknum pedagang dan distributor nakal masih menjual produk berbahaya itu kepada masyarakat, bahkan disinyalir mendapat “perlindungan” dari pihak-pihak tertentu.


Pada suatu malam di pertengahan Januari, ketika Ambar sedang mengambil dokumentasi lapangan dan mengonfirmasi data kepada narasumber, sekelompok orang tak dikenal mendekatinya. Tanpa banyak bicara, mereka melakukan penganiayaan fisik dan merampas alat kerjanya, termasuk telepon genggam yang berisi rekaman investigasi penting. Serangan itu cepat, brutal, dan terkoordinasi.


“Saya tidak sempat mengenali wajah mereka. Tiba-tiba saya diseret ke gang kecil, dipukul, dan HP saya diambil. Mereka bilang, ‘jangan sok jadi pahlawan!’,” ujar Ambar kepada rekan-rekan sesama wartawan beberapa hari setelah kejadian, saat dirinya masih dalam pemulihan.


Kasus itu langsung dilaporkan ke Polsek Babelan, dengan bukti visum dan kronologi kejadian lengkap. Namun, meski laporan sudah masuk, penyelidikan tak menunjukkan perkembangan berarti. Hingga berbulan-bulan setelah kejadian, tidak ada satu pun pelaku yang berhasil diidentifikasi, apalagi ditangkap.


Bagi kalangan jurnalis Bekasi, kasus ini bukan sekadar penyerangan terhadap seorang individu, melainkan peringatan keras bahwa tugas jurnalistik investigatif masih dianggap ancaman oleh pihak-pihak yang tak ingin kebenaran terungkap.


Rekan-rekan Ambar di FWJI, Forum Wartawan Jaya Indonesia, menyesalkan lambannya penanganan kasus ini. Mereka menilai, serangan terhadap jurnalis bukan hanya melanggar hukum pidana, tetapi juga pelanggaran serius terhadap kebebasan pers yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.


“Setiap kekerasan terhadap wartawan adalah serangan terhadap demokrasi,” ujar salah satu pengurus FWJI Korwil Kota Bekasi.


“Ambar hanya menjalankan fungsi kontrol sosialnya. Kalau pelaku kekerasan dibiarkan bebas, maka publik pun akan kehilangan haknya atas informasi yang benar.”


Selain FWJI, organisasi pers lainnya seperti AWIBB (Aliansi Wartawan Indonesia Bangkit Bersama), FPII (Forum Pers Independen Indonesia), GWI (Gabungnya Wartawan Indonesia), MOI (Media Online Indonesia) dan PPWI (Persatuan Pewarta Warga Indonesia) turut menyatakan solidaritas. Mereka mendesak pihak kepolisian segera mengusut tuntas kasus Babelan tanpa pandang bulu.


Namun seruan itu seperti tenggelam dalam kesunyian. Laporan tetap di meja penyidik, dan hasil penyelidikan nyaris tak terdengar. Hingga akhirnya, delapan bulan kemudian, sejarah kelam itu terulang kembali - kali ini lebih kejam, lebih terencana, dan kembali tanpa kejelasan hukum.


Pada pertengahan September 2025, Diori Parulian Ambarita kembali turun ke lapangan untuk melanjutkan investigasi lanjutan tentang peredaran makanan kadaluarsa, yang diduga melibatkan jaringan distributor di wilayah Tambun Selatan. Ia telah mengumpulkan sejumlah dokumen transaksi dan foto produk yang masa edarnya telah berakhir namun masih beredar bebas di pasaran.


Namun saat proses peliputan berlangsung, peristiwa tragis kembali terjadi. Kali ini, Ambar dikeroyok oleh sekelompok pria tak dikenal di sekitar area pergudangan. Serangan itu lebih parah dibanding insiden di Babelan. Ia mengalami luka lebam di wajah dan lengan, sementara ponselnya kembali dirampas.


Menurut kesaksian warga sekitar, para pelaku datang memukul korban, mereka membabi buta mengeroyok jurnalis berambut gondrong yang sudah lemah tidak berdaya,” ujar seorang saksi yang enggan disebutkan namanya.


Ambar kembali melaporkan kejadian ini, kali ini ke Polda Metro Jaya (PMJ) karena kasusnya tergolong berat. Namun, seperti déjà vu, proses hukum berjalan lamban dan tanpa hasil konkret. Dalam dua peristiwa itu, Ambar tak hanya kehilangan alat kerja dan data investigasi penting, tetapi juga menghadapi tekanan psikologis berat.


Sebagai jurnalis, ia sadar betul risikonya. Namun yang membuatnya terpukul bukan hanya serangan fisik, melainkan rasa tidak berdaya ketika hukum tak bergerak. “Saya tidak takut untuk bekerja di lapangan. Tapi yang menakutkan adalah ketika keadilan tidak berpihak kepada korban,” kata Ambar di Bekasi, Oktober lalu.


Meski begitu, semangatnya tidak padam. Ambar tetap aktif bersama FWJI (Forum Wartawan Jaya Indonesia) serta komunitas wartawan lainnya. Ia menjadi simbol keteguhan hati seorang jurnalis daerah yang berjuang melawan tekanan, ancaman, dan impunitas.


Setelah dua kali menjadi korban kekerasan dalam kurun sembilan bulan, Diori Parulian Ambarita menaruh harapan besar pada penegakan hukum. Ia meyakini bahwa laporan resmi ke kepolisian akan menjadi awal dari proses mencari keadilan. Namun, kenyataan berbicara lain.



Kasus pertama di Polsek Babelan masih menggantung tanpa kejelasan, sementara laporan kedua di Polda Metro Jaya justru memperlihatkan pola yang sama - lamban, tertutup, dan tanpa hasil nyata.



Menurut penelusuran Forum Wartawan Jaya Indonesia (FWJI), laporan di Babelan bahkan belum sepenuhnya masuk ke tahap penyidikan formal setelah berbulan-bulan. “Kami sudah beberapa kali menanyakan ke pihak Polsek, tetapi jawabannya selalu sama: masih dalam proses, masih menunggu petunjuk,” ujar seorang pengurus FWJI yang mendampingi Ambar saat membuat laporan.



Ketika kasus September terjadi dan Ambar melapor kembali ke Polda Metro Jaya, ekspektasi publik meningkat. Sebab, kasus kedua terjadi setelah korban jelas-jelas sudah pernah diserang dengan modus serupa. Namun, proses di Polda Metro Jaya pun nyaris berjalan di tempat.


Berkas laporan baru mendapat nomor perkara setelah hampir dua minggu. Barang bukti seperti hasil visum, foto luka, dan saksi di lapangan sudah diserahkan, tetapi belum ada hasil identifikasi pelaku hingga akhir Oktober 2025.



Lebih ironis lagi, ponsel Ambar yang dirampas - di dalamnya berisi bukti liputan soal dugaan distribusi makanan kadaluarsa – dihapus oleh para pelaku. Padahal perangkat tersebut bisa menjadi kunci mengungkap motif dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam serangan itu.



“Kalau aparat serius, seharusnya ada CCTV di area tempat kejadian perkara (TKP) ada jejak digital dan ada saksi. Tapi semua terasa diam. Seolah kasus ini ingin dilupakan,” ujar salah satu anggota AWIBB (Aliansi Wartawan Indonesia Bangkit Bersama) dalam pernyataannya.


Fenomena lambannya penanganan hukum seperti yang dialami Ambar bukan hal baru bagi kalangan jurnalis Indonesia. Banyak kasus serupa sebelumnya juga mengalami jalan buntu. Namun dalam konteks Bekasi, kasus ini menjadi perhatian khusus karena melibatkan dua laporan dalam tahun yang sama, dengan korban yang sama, dan motif yang serupa - tapi tetap tanpa hasil.



Keterlambatan tersebut menimbulkan gelombang ketidakpercayaan terhadap sistem hukum. Beberapa organisasi jurnalis menilai ada indikasi kelalaian atau ketidakseriusan penyidikan. FWJI bahkan mengirim surat resmi ke Kapolres Metro Bekasi dan Kapolda Metro Jaya untuk meminta penjelasan mengenai perkembangan kasus, namun hingga kini belum ada tanggapan terbuka.



Dalam pernyataan sikap bersama yang dikeluarkan pada 29 Oktober 2025, FWJI, AWIBB, FPII, PPWI, serta beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menegaskan dukungan penuh kepada Diori Parulian Ambarita dan mendesak aparat untuk tidak mengabaikan hak korban atas keadilan.



“Negara harus hadir. Jangan biarkan kekerasan terhadap jurnalis dianggap hal biasa,” tulis pernyataan itu.

“Ketika jurnalis diserang dan pelaku dibiarkan bebas, maka kejahatan terhadap kebenaran sedang dibiarkan.”


Bagi seorang jurnalis, kehilangan alat kerja berarti kehilangan sebagian besar “senjata” profesionalnya. Tapi bagi Ambar, serangan tersebut meninggalkan luka yang jauh lebih dalam - rasa tidak aman di lapangan.

Sejak peristiwa September, ia harus lebih berhati-hati saat melakukan liputan investigatif. Ia tidak lagi bekerja sendirian, kini selalu didampingi rekan FWJI atau anggota jaringan pers lokal lain.



“Setiap kali turun ke lapangan, saya selalu menoleh ke belakang,” ujarnya lirih dalam satu wawancara komunitas media di Bekasi. “Saya mencintai profesi ini, tapi tidak pernah terbayang saya harus hidup dalam ketakutan hanya karena ingin menyampaikan kebenaran.”


Selain itu, Ambar juga menerima serangkaian teror verbal dan pesan intimidasi di media sosial setelah kasusnya ramai diberitakan. Ada pesan anonim yang menuduhnya “mencari sensasi” atau “membuka aib pihak tertentu.” Namun bagi rekan-rekannya, tudingan itu justru memperkuat dugaan bahwa ada kepentingan besar di balik kasus ini.


Kasus yang menimpa Ambar memperlihatkan bagaimana daerah industri besar seperti Bekasi menyimpan kerentanan tinggi terhadap jurnalis investigasi. Dengan kepadatan ekonomi dan politik lokal yang rumit, wartawan yang menggali kasus sensitif sering kali menghadapi ancaman dari berbagai pihak, mulai dari oknum bisnis hingga oknum aparat yang memiliki kepentingan tertentu.


Menurut catatan Forum Pers Independen Indonesia (FPII), sepanjang 2024–2025, tercatat lebih dari 30 kasus intimidasi terhadap jurnalis di wilayah Jabodetabek, dan sebagian besar tidak pernah sampai ke pengadilan. Dua di antaranya menimpa Diori Parulian Ambarita - yang kini menjadi simbol nyata lemahnya perlindungan hukum terhadap wartawan daerah.


Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebenarnya memberikan perlindungan jelas bagi wartawan yang sedang bertugas. Pasal 8 UU tersebut menegaskan bahwa “dalam menjalankan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.” Namun dalam praktik, perlindungan itu sering berhenti di atas kertas.


Di lapangan, jurnalis seperti Ambar kerap dibiarkan berjuang sendirian. Ketika menjadi korban kekerasan, mereka harus menempuh proses hukum yang panjang, rumit, dan sering kali berujung nihil. Apalagi bila kasusnya berkaitan dengan liputan yang menyentuh kepentingan ekonomi atau kekuasaan tertentu.



Dosen komunikasi dari Universitas Bhayangkara, Bekasi, Dr. Taufik Hadi, menilai bahwa kasus Ambar mencerminkan dua masalah besar: lemahnya sistem penegakan hukum dan belum terbangunnya budaya menghargai kerja jurnalistik.



“Selama aparat masih memandang jurnalis sebagai pihak yang merepotkan, bukan mitra dalam mengawasi publik, maka kekerasan semacam ini akan terus berulang,” ujarnya.



Pasca peristiwa September, solidaritas untuk Ambar datang dari berbagai penjuru. FWJI, AWIBB, FPII,GWI, MOI, PPWI, serta berbagai organisasi pers dan lembaga advokasi media bersatu menggelar aksi damai di Polda Metro Jaya pada akhir September 2025. Mereka menyuarakan tuntutan agar aparat menuntaskan kasus ini dan menegaskan kembali komitmen terhadap kebebasan pers.



Dalam orasi di depan kantor Polda Metro Jaya, Ketua Umum Forum Wartawan Jaya Indonesia (FWJI) mengatakan, “Hari ini kita berdiri bukan hanya untuk, Ambar tapi untuk seluruh jurnalis Indonesia yang pernah diserang, diintimidasi, dan dibiarkan tanpa perlindungan hukum.”



Sejumlah LBH (Lembaga Bantuan Hukum) dan aktivis LSM lokal juga ikut turun tangan memberikan pendampingan hukum kepada Ambar. Mereka menyiapkan langkah-langkah hukum lanjutan, termasuk rencana pengaduan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) jika dalam waktu dekat tidak ada perkembangan signifikan dari pihak kepolisian.


Waktu terus berjalan, namun keadilan tak kunjung datang. Dua laporan polisi, dua kali kekerasan, dua kali kehilangan alat kerja, dan nol hasil penyelidikan - seolah menjadi rangkuman perjalanan panjang yang menyesakkan.



Bagi publik, kasus ini menegaskan betapa lambannya sistem hukum dalam memberikan perlindungan bagi jurnalis yang menjalankan profesinya secara sah.

Bagi kalangan pers, kisah Ambar menjadi peringatan keras bahwa risiko terbesar dalam mencari kebenaran bukan hanya datang dari pelaku kekerasan, tetapi juga dari diamnya sistem hukum yang seharusnya melindungi.


Setiap tahun, 2 November diperingati sebagai Hari Internasional untuk Mengakhiri Impunitas atas Kejahatan terhadap Jurnalis (International Day to End Impunity for Crimes against Journalists).

Peringatan ini ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi A/RES/68/163 pada tahun 2013, sebagai reaksi atas banyaknya kasus pembunuhan dan kekerasan terhadap jurnalis di seluruh dunia yang tidak pernah terselesaikan.



Tahun 2025, peringatan ini terasa sangat relevan - dan sekaligus menyakitkan - bagi kalangan pers di Indonesia. Di saat dunia menyerukan penghentian impunitas, kasus kekerasan terhadap jurnalis investigasi Bekasi, Diori Parulian Ambarita, masih mandek tanpa kejelasan.



Alih-alih menjadi contoh keberanian negara dalam menegakkan hukum, kasus ini justru menjadi cermin buram lemahnya perlindungan terhadap pekerja media di tingkat daerah. Dua kali diserang saat liputan, dua kali melapor ke polisi, dua kali pula tak menemukan keadilan.



“Bagaimana kita bisa bicara kebebasan pers, jika pelaku kekerasan terhadap wartawan tidak pernah ditangkap?” ujar Opan sapaan akrab Mutofa Hadi Karya, Ketua Umum FWJI. “Kasus Ambar bukan hanya tentang satu orang, tapi tentang masa depan jurnalisme di negeri ini.”


Kata impunitas berarti bebas dari hukuman atau tanggung jawab hukum atas pelanggaran yang dilakukan. Dalam konteks kekerasan terhadap jurnalis, impunitas bukan hanya kegagalan penegakan hukum, tetapi juga pesan berbahaya bagi masyarakat: bahwa menyerang wartawan tidak akan membawa konsekuensi serius.



Data UNESCO Observatory of Killed Journalists menunjukkan, lebih dari 1.200 jurnalis di dunia terbunuh sejak 2006, dan hampir 80 persen kasusnya tidak pernah terselesaikan.


Di Indonesia sendiri, laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat sedikitnya 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada 2024, mencakup ancaman, intimidasi, pemukulan, hingga perampasan alat kerja. Namun hanya sebagian kecil yang berhasil dibawa ke ranah hukum.



Kasus Diori Parulian Ambarita kini menjadi representasi nyata dari statistik kelam tersebut. Ia masih hidup - tapi hidup dengan luka yang sama: luka impunitas. Luka yang bukan hanya menyakitkan secara pribadi, tetapi juga mencederai demokrasi yang seharusnya melindungi hak publik untuk tahu.


Kabupaten Bekasi, dengan populasi lebih dari tiga juta jiwa dan kawasan industri terbesar di Asia Tenggara, memiliki dinamika sosial-ekonomi yang kompleks.

Di balik kemajuan industrinya, terselip persoalan serius: ketertutupan informasi publik, praktik bisnis yang tidak transparan, dan lemahnya kontrol masyarakat terhadap sektor-sektor ekonomi vital.



Bagi jurnalis seperti Diori Parulian Ambarita, situasi ini menjadi medan berbahaya. Liputan mengenai peredaran makanan kadaluarsa, yang tampak sederhana di permukaan, ternyata menyentuh kepentingan besar - rantai pasok industri makanan dan distribusi yang melibatkan banyak pihak.


Di sinilah risiko meningkat: ketika berita menyentuh urat nadi ekonomi gelap, ancaman berubah menjadi kekerasan.“Kasus ini memperlihatkan betapa rentannya jurnalis daerah dan Ambar mewakili ribuan wartawan di daerah yang bekerja nyaris tanpa perlindungan, tanpa asuransi, dan tanpa jaminan keamanan. Mereka berhadapan langsung dengan risiko di lapangan.”


Ketika aparat penegak hukum terlihat pasif, suara solidaritas dari komunitas pers justru menggema keras.

FWJI, FPII, AWIBB, GWI, MOI, PPWI, serta sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menggelar serangkaian kegiatan advokasi.



Dalam salah satu aksi pada akhir Oktober 2025, para jurnalis membentangkan spanduk bertuliskan “Tegakkan Hukum, Hentikan Kekerasan terhadap Wartawan – Keadilan untuk Diori Parulian Ambarita!” Aksi itu menarik perhatian publik lokal dan menjadi pemberitaan di sejumlah media nasional. Namun, hingga artikel ini ditulis, belum ada tanggapan resmi dari kepolisian yang menjelaskan perkembangan penyidikan.


Sementara itu, ancaman terhadap jurnalis di Bekasi tetap berlangsung, dengan pola intimidasi yang kian halus namun nyata. Kebebasan pers adalah salah satu indikator utama kualitas demokrasi suatu bangsa.

Ketika jurnalis dibungkam, publik kehilangan mata dan telinga terhadap kebenaran. Ketika pelaku kekerasan terhadap wartawan tidak ditindak, negara kehilangan legitimasi moral untuk menyebut dirinya demokratis.



Indonesia sebenarnya sudah memiliki instrumen hukum yang cukup: UU Pers No. 40 Tahun 1999, KUHP, serta komitmen terhadap berbagai konvensi internasional tentang perlindungan hak asasi manusia. Namun, masalah terbesar bukan pada aturan, melainkan pada implementasi. Kultur impunitas membuat banyak aparat enggan atau takut menindak kasus yang melibatkan kepentingan kuat di daerah.



“Setiap kasus yang dibiarkan tanpa keadilan adalah preseden buruk,” kata Prof. Agus Sudrajat, pengamat hukum pers Universitas Padjadjaran.

“Jika penegakan hukum gagal pada satu kasus jurnalis, maka ke depan, semua jurnalis berisiko menjadi korban berikutnya.”


Peringatan Hari Impunitas Jurnalis Sedunia tahun 2025 di Bekasi berlangsung sederhana, namun penuh makna.

Puluhan wartawan dari berbagai organisasi berkumpul di halaman Sekretariat FWJI Kabupaten Bekasi, menyalakan lilin dan menggelar doa bersama untuk para jurnalis korban kekerasan di Indonesia dan dunia.



Dalam acara tersebut, Diori Parulian Ambarita sebagai Dewan Pengawas DUA FWJI hadir secara langsung. Meski wajahnya terlihat lelah, semangatnya tetap teguh. Ia menyampaikan pesan singkat kepada rekan-rekan sejawat “Kita tidak boleh diam. Jika kita diam, maka yang menang adalah ketakutan. Saya percaya, meskipun hukum lamban, kebenaran tidak akan bisa dikalahkan.”



Kasus Diori Parulian Ambarita menjadi semacam refleksi moral bagi Indonesia di tahun 2025.

Negara yang bangga dengan indeks kebebasan pers yang meningkat di atas kertas, ternyata masih gagal menjamin keamanan jurnalis di lapangan.

Kekerasan terhadap wartawan adalah pengkhianatan terhadap konstitusi yang menjamin kemerdekaan berekspresi.



Di mata publik internasional, setiap kasus impunitas memperburuk citra negara. Laporan UNESCO tahun 2025 menyebutkan, Indonesia masih berada dalam kategori “negara dengan tingkat impunitas tinggi” bersama Filipina dan Meksiko. Dan kasus Ambar kini tercatat dalam daftar advokasi lembaga-lembaga internasional yang menyoroti kekerasan terhadap jurnalis di Asia Tenggara.



Namun di luar semua data dan laporan itu, yang paling menyedihkan adalah kenyataan bahwa seorang jurnalis harus dua kali diserang, dua kali kehilangan alat kerja, dua kali melapor, dan dua kali tidak mendapat keadilan - di negeri yang konon menjunjung tinggi demokrasi.


Perjuangan Diori Parulian Ambarita untuk mendapatkan keadilan tidak dilakukan sendirian.

Sejak kasus pertama di Polsek Babelan hingga yang kedua di Polda Metro Jaya, dukungan terus mengalir dari berbagai kalangan. Forum Wartawan Jaya Indonesia (FWJI) menjadi garda terdepan dalam mengawal kasus ini. Sebagai Dewan Pengawas DUA FWJI, Ambar dikenal teguh, vokal, dan memiliki integritas tinggi - sosok yang tidak mudah tunduk pada tekanan.



Dalam setiap rapat organisasi, nama Ambar selalu disebut dengan nada hormat. Ia bukan sekadar anggota, melainkan simbol perlawanan terhadap ketidakadilan.

FWJI bersama Aliansi Wartawan Indonesia Bangkit Bersama (AWIBB), Forum Pers Independent Indonesia (FPII), Gabungnya Wartawan Indonesia (GWI), Media Online Indonesia (MOI), Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), serta berbagai LSM dan LBH seperti Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum HIPAKAD'63, terus melakukan pendampingan hukum dan advokasi publik.



Mereka mengirimkan surat terbuka ke Kapolda Metro Jaya, melakukan audiensi ke Komnas HAM, hingga mendesak Dewan Pers untuk turun tangan memastikan perlindungan bagi jurnalis yang sedang bekerja.

Namun, jawaban dari lembaga-lembaga itu masih sebatas janji koordinasi dan evaluasi - belum ada tindakan nyata yang membawa kasus ini ke titik terang.


Salah satu LKBH yang aktif mengawal kasus ini adalah LKBH HIPAKAD'63 yang melihat peristiwa tersebut bukan hanya sebagai persoalan pidana, tetapi juga pelanggaran hak asasi manusia terhadap pekerja media. “Ini bukan sekadar kasus kriminal, tapi serangan terhadap kebebasan pers. Karena itu, kami meminta agar penyidik Polda Metro Jaya memprioritaskan penyelidikan dan menerapkan pasal yang sesuai dengan perlindungan profesi wartawan.”


Sementara itu, aktivis HAM dan kebebasan pers menilai lambannya proses hukum menunjukkan lemahnya komitmen aparat terhadap demokrasi. “Kasus Ambar menunjukkan pola klasik: wartawan diserang, laporan dibuat, tapi proses hukum berhenti di meja penyidik. Ini harus diakhiri.” 


“Keadilan untuk Diori Parulian Ambarita!”

“Hentikan Kekerasan terhadap Jurnalis!”

“Aparat Negara Jangan Diam, Tutup Mata!”

"NEGARA Mesti Hadir, Wartawan di Aniaya"(RED)

×
Berita Terbaru Update