Bogor(TAMPAHAN.COM)Gelombang operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terjadi di tiga wilayah berbeda Banten, Bekasi, dan Kalimantan pada Desember 2025 patut dibaca sebagai sinyal keras bahwa praktik korupsi masih mengakar kuat di pemerintahan daerah.Meski lokasi dan aktornya berbeda, pola yang muncul nyaris serupa seperti penyalahgunaan kewenangan, transaksi gelap anggaran, serta lemahnya sistem pengawasan internal.
OTT tersebut bukan sekadar peristiwa hukum, melainkan cermin rapuhnya tata kelola pemerintahan daerah.
Fakta bahwa kasus-kasus itu terungkap hampir bersamaan menunjukkan bahwa korupsi bukanlah persoalan individual semata, tetapi masalah sistemik.
Ketika pengawasan longgar dan integritas pejabat publik rendah, maka ruang gelap akan selalu tersedia.
Dalam konteks ini, Pemerintah Kabupaten Bogor tidak boleh merasa aman atau sekadar menjadi penonton.
Kabupaten Bogor justru harus menjadikan rangkaian OTT tersebut sebagai pelajaran serius. Sebab, di Kabupaten Bogor sendiri masih terdapat begitu banyak temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang hingga kini belum ditindaklanjuti secara tuntas.
Uang negara yang seharusnya dikembalikan ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) masih tertahan, tanpa kejelasan dan ketegasan penyelesaian.
Ini bukan persoalan administratif biasa. Temuan BPK yang tidak diselesaikan adalah pintu awal bagi praktik korupsi yang lebih besar.
Ketika kewajiban pengembalian kerugian negara dibiarkan berlarut-larut, maka pesan yang muncul ke bawah adalah permisivitas bahwa pelanggaran bisa dinegosiasikan, dan akuntabilitas dapat ditunda.
OTT KPK di Banten, Bekasi, dan Kalimantan semestinya menjadi “early warning system” bagi Kabupaten Bogor.
Jangan menunggu aparat penegak hukum datang dengan borgol baru kemudian bereaksi.
Langkah pencegahan jauh lebih bermartabat dan bertanggung jawab dibandingkan penindakan setelah kerusakan terjadi.
Pemerintah Kabupaten Bogor harus segera melakukan evaluasi terhadap pengelolaan keuangan daerah, menagih secara tegas seluruh temuan BPK yang belum dikembalikan, serta memastikan tidak ada kompromi terhadap pelanggaran.
Aparat pengawasan internal daerah (APIP) harus diperkuat, bukan sekadar menjadi pelengkap struktur birokrasi.
Korupsi tidak pernah muncul secara tiba-tiba. Ia tumbuh dari pembiaran kecil yang terus diulang.
Jika Kabupaten Bogor tidak ingin menyusul daftar panjang daerah yang pejabatnya terjerat OTT, maka sekaranglah waktunya belajar dari peristiwa di daerah lain. Transparansi, ketegasan, dan keberanian membersihkan internal adalah kunci.
Desember 2025 telah memberi pelajaran mahal. Tinggal satu pertanyaan apakah Kabupaten Bogor mau belajar, atau memilih menunggu giliran?(TIM/DAVI)