Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

NEGARA HUKUM DAN BATAS KEBEBASAN BERDEMONSTRASI

Sabtu, 20 September 2025 | Sabtu, September 20, 2025 WIB Last Updated 2025-09-20T14:29:32Z

Dr. Bachtiar – Pengajar Hukum Tata Negara FH UNPAM

Jakarta(TAMPAHAN.COM)Tulisan Prof. Romli Atmasasmita tentang “Hukum dan Penegakan Hukum di Tengah Demo Anarkistis” (nasional.sindonews.com-Selasa, 09 September 2025) memberikan refleksi penting bagi kita semua. Fenomena demonstrasi yang berubah menjadi anarkistis bukan hanya persoalan sosial dan keamanan, tetapi juga menyentuh aspek mendasar dalam hukum tata negara, yakni bagaimana negara menyeimbangkan kewajiban untuk menjamin hak konstitusional warganya dengan tanggung jawab menjaga ketertiban umum. 

Gagasan Prof. Romli menekankan bahwa hukum tidak boleh dilihat sekadar sebagai instrumen teknis yang digunakan aparat untuk mengendalikan massa, melainkan sebagai pilar legitimasi negara hukum. Dari sinilah dapat dipahami bahwa penegakan hukum yang adil, transparan, dan konsisten menjadi syarat utama agar hukum dipatuhi bukan karena rasa takut, tetapi karena rasa percaya.

Lebih jauh, refleksi ini menjadi relevan di tengah situasi politik dan sosial yang kerap memunculkan gesekan antara masyarakat dan negara. Dalam perspektif hukum tata negara, relasi antara rakyat dan penguasa bukanlah relasi subordinatif, melainkan relasi yang dibingkai oleh konstitusi. UUD 1945 memberi ruang luas bagi rakyat untuk bersuara, tetapi pada saat yang sama memberikan mandat kepada negara untuk mengatur batasannya demi menjamin keamanan bersama. 

Oleh sebab itu, gagasan Prof. Romli layak dijadikan pijakan kebijakan publik, bahwa negara hukum hanya akan tegak bila hukum dijalankan dengan cara yang menumbuhkan kepercayaan publik, bukan sebaliknya.


Hukum sebagai Fondasi Legitimasi Negara Konstitusi menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Pernyataan normatif ini mengandung makna bahwa seluruh tindakan pemerintah harus berakar pada hukum dan dibatasi oleh hukum. Legitimasi pemerintah dan lembaga negara dengan demikian tidak hanya ditentukan oleh kewenangan formal yang diberikan undang-undang, tetapi juga oleh cara hukum itu ditegakkan secara adil, transparan, dan konsisten.

Dalam perspektif hukum tata negara, legitimasi negara lahir dari kepercayaan rakyat terhadap institusi hukum. Prof. Romli tepat menekankan bahwa penegakan hukum bukanlah sekadar upaya represif untuk mengendalikan situasi, melainkan instrumen fundamental dalam membangun public trust. Apabila hukum ditegakkan secara diskriminatif, tajam ke bawah namun tumpul ke atas, kepercayaan publik akan runtuh. Hukum yang seharusnya menjadi penopang keadilan justru akan dipersepsi sebagai alat represi yang melanggengkan kekuasaan.

Karena itu, penegakan hukum harus dipahami sebagai bagian dari kontrak konstitusional antara negara dan warga negara. Rakyat memberikan mandat kepada negara untuk mengatur, mengelola, dan menjaga ketertiban, tetapi mandat itu bersyarat: harus dijalankan dalam koridor hukum yang berkeadilan. Inilah yang membedakan rule of law dari rule by law. Dalam rule of law, hukum menjadi panglima yang menundukkan semua pihak, termasuk penguasa; sedangkan dalam rule by law, hukum hanya dipakai sebagai alat legitimasi bagi kepentingan kekuasaan.

Dengan demikian, fondasi legitimasi negara tidak bisa dilepaskan dari kualitas penegakan hukum. Negara hukum tidak akan pernah tegak hanya dengan perangkat normatif di atas kertas, melainkan dengan praktik hukum yang menghadirkan rasa keadilan. Dan pada titik inilah gagasan Prof. Romli menjadi relevan: hukum yang ditegakkan dengan keadilan adalah syarat mutlak bagi berdirinya negara hukum yang berdaulat sekaligus demokratis.

Hak Konstitusional dan Batas Keteraturan Publik

UUD 1945 menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Kebebasan ini adalah salah satu pilar demokrasi yang memungkinkan rakyat menyampaikan aspirasi, kritik, bahkan penolakan terhadap kebijakan negara. Namun, kebebasan tersebut bukanlah hak yang absolut. Pasal 28J UUD 1945 menegaskan bahwa setiap pelaksanaan hak asasi manusia harus tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, demi menghormati hak orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan, moral, keamanan, dan ketertiban umum.

Dari perspektif hukum tata negara, di sinilah letak dialektika antara kebebasan dan keteraturan. Negara berkewajiban melindungi hak rakyat untuk menyampaikan pendapat di muka umum, tetapi pada saat yang sama negara juga berkepentingan menjaga stabilitas sosial. Demonstrasi yang damai adalah wujud kebebasan yang sah, tetapi ketika berubah menjadi anarkistis – merusak fasilitas umum, melanggar hukum, atau mengganggu ketertiban masyarakat – maka negara berhak bahkan wajib melakukan pembatasan.

Prof. Romli menegaskan bahwa titik keseimbangan ini sangat penting bahwa penegakan hukum harus mampu membedakan antara demonstrasi sebagai ekspresi demokrasi dan tindakan anarki yang merusak kehidupan bernegara. Dengan kata lain, kebebasan berdemonstrasi perlu dipahami dalam kerangka tanggung jawab. Hak rakyat untuk menyampaikan pendapat tidak boleh meniadakan kewajiban menjaga kepentingan bersama, sebagaimana hak negara menegakkan ketertiban tidak boleh menghilangkan esensi kebebasan itu sendiri.

Kepemimpinan dan Budaya Hukum

Sebagaimana ditegaskan Prof. Romli, kualitas kepemimpinan merupakan faktor penentu dalam tegaknya negara hukum. Konstitusi memang telah menetapkan struktur kelembagaan negara melalui eksekutif, legislatif, dan yudikatif, namun efektivitasnya sangat ditentukan oleh integritas dan teladan para pemimpin yang mengemban amanat tersebut. Dalam hukum tata negara, pemimpin tidak hanya diposisikan sebagai pengambil kebijakan, tetapi juga sebagai role model yang mencerminkan penghormatan terhadap hukum.

Tanpa kepemimpinan yang berintegritas, hukum akan sulit dijalankan sebagai instrumen keadilan. Masyarakat cenderung meniru perilaku pemimpin: jika pemimpin memperlihatkan sikap patuh hukum, transparan, dan akuntabel, maka legitimasi hukum akan meningkat; sebaliknya, jika pemimpin abai terhadap aturan dan lebih mengedepankan kepentingan kekuasaan, hukum hanya akan menjadi formalitas. Inilah yang dimaksud Prof. Romli dengan pentingnya leadership dalam membangun public trust sekaligus legal culture.

Budaya hukum (legal culture) masyarakat tidak dapat dibentuk semata-mata melalui aturan tertulis, melainkan melalui praktik dan teladan nyata. Demonstrasi yang sehat, damai, dan konstitusional adalah ekspresi demokrasi yang perlu dihargai. Namun ketika demonstrasi berubah menjadi anarkistis, negara berkewajiban mencegah dan menindak dengan hukum yang tegas, adil, dan tidak diskriminatif. Keseimbangan ini hanya mungkin dicapai bila pemimpin mampu menempatkan hukum sebagai panglima, bukan alat kekuasaan.

Menjaga Keseimbangan

Dari refleksi atas pemikiran Prof. Romli, terdapat sejumlah gagasan yang dapat dijadikan pijakan dalam menjaga keseimbangan dalam bernegara. Pertama, negara perlu memperkuat dialog konstitusional dengan masyarakat. Demonstrasi sering kali lahir karena saluran komunikasi formal antara rakyat dan pemerintah dianggap buntu atau tidak responsif. Dengan menyediakan kanal komunikasi yang resmi, terbuka, dan efektif, pemerintah dapat meredam potensi eskalasi konflik sekaligus memperkuat legitimasi konstitusionalnya di mata rakyat.

Kedua, penegakan hukum harus dilaksanakan secara konsisten dan tanpa diskriminasi. Aparat negara tidak boleh menampilkan wajah hukum yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas, karena hal itu hanya akan memperdalam ketidakpercayaan publik. Penegakan hukum yang konsisten justru menjadi fondasi negara hukum, sebab di situlah rakyat melihat keadilan berjalan tidak memandang status, posisi, atau kepentingan politik.

Ketiga, setiap tindakan negara dalam merespons demonstrasi harus ditempatkan dalam kerangka transparansi dan akuntabilitas. Kejelasan prosedur, dasar hukum yang digunakan, hingga pertanggungjawaban atas tindakan aparat merupakan syarat mutlak agar kepercayaan publik tidak terkikis. Keterbukaan ini sekaligus menjadi bukti bahwa negara bekerja sesuai prinsip rule of law, bukan rule by law.

Keempat, pendidikan hukum masyarakat juga tidak kalah penting. Kebebasan berdemonstrasi harus dipahami bukan hanya sebagai hak, tetapi juga tanggung jawab untuk menjaga ketertiban dan menghormati hak orang lain. Kesadaran ini tidak akan lahir secara instan, melainkan melalui proses pendidikan publik yang terus-menerus, baik melalui kurikulum, media, maupun teladan nyata dari para pemimpin.

Dengan menjalankan rekomendasi tersebut, negara hukum Indonesia akan lebih kokoh menghadapi dinamika demokrasi. Demonstrasi tidak lagi dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian dari mekanisme check and balance yang sehat. Sebaliknya, tindakan anarkistis dapat ditangani secara proporsional dalam bingkai hukum yang adil, sehingga negara tetap stabil tanpa harus mengorbankan kebebasan rakyat.

Refleksi Kritis

Pada titik ini, penting untuk melihat lebih jauh bahwa problem utama dalam relasi antara negara, hukum, dan masyarakat bukan semata soal regulasi atau perangkat hukum yang sudah tersedia. Indonesia telah memiliki instrumen hukum yang relatif memadai, baik dalam konstitusi maupun undang-undang. Persoalan mendasarnya justru terletak pada konsistensi implementasi dan integritas para aktor yang terlibat di dalamnya.

Prof. Romli mengingatkan bahwa hukum hanya akan bermakna bila ia benar-benar hidup dalam kesadaran publik (living law) dan diterapkan secara adil oleh negara. Namun realitas di lapangan sering kali menunjukkan paradoks: di satu sisi, negara menuntut kepatuhan hukum dari rakyat, tetapi di sisi lain negara sendiri tidak selalu memberi teladan ketaatan hukum. Situasi ini melahirkan dilema legitimasi, karena rakyat sulit mempercayai hukum yang diterapkan secara parsial dan cenderung menguntungkan kelompok tertentu.

Di sinilah refleksi kritis perlu diajukan. Apakah negara sungguh-sungguh berkomitmen menjalankan hukum sebagai instrumen keadilan, ataukah masih terjebak pada paradigma hukum sebagai alat kekuasaan? Pertanyaan ini bukan sekadar akademik, melainkan menyentuh inti relasi negara dan rakyat. Bila hukum terus dipersepsikan sebagai alat represi, maka gelombang ketidakpuasan sosial akan selalu mencari ruang ekspresi, termasuk melalui demonstrasi.

Selain itu, refleksi kritis juga harus diarahkan pada kapasitas masyarakat sipil. Kebebasan berdemonstrasi memang dijamin oleh konstitusi, namun dalam praktiknya tidak jarang berubah menjadi tindakan destruktif yang menggerus esensi demokrasi itu sendiri. Artinya, ada pekerjaan rumah besar dalam membangun kultur demokrasi yang matang, di mana hak berekspresi dipraktikkan secara bertanggung jawab dan tidak menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum.

Dengan demikian, refleksi kritis atas pandangan Prof. Romli membuka kesadaran bahwa demokrasi Indonesia masih berada dalam proses pembelajaran panjang. Negara dituntut konsisten menegakkan hukum secara adil, sementara masyarakat sipil harus menginternalisasi kedewasaan politik. Pertemuan kedua aspek inilah yang akan menentukan apakah Indonesia mampu membangun negara hukum yang benar-benar berkeadilan, atau justru terjebak dalam lingkaran ketidakpercayaan yang berulang.

Relevansi dengan Polri

Dalam konteks Indonesia, refleksi Prof. Romli sangat erat kaitannya dengan Polri sebagai institusi sipil yang memiliki mandat konstitusional menjaga keamanan dalam negeri. Posisi Polri menjadi krusial dalam menyeimbangkan dua hal, yakni melindungi kebebasan konstitusional warga negara dan menjaga ketertiban umum.

Pertama, Polri harus memahami bahwa penanganan demonstrasi bukan semata-mata isu teknis keamanan, melainkan ujian bagi tegaknya prinsip negara hukum. Tindakan represif yang berlebihan justru berpotensi menggerus legitimasi institusi dan negara.

Kedua, Polri dituntut bersikap transparan, akuntabel, dan proporsional. Setiap penggunaan kekuatan harus berlandaskan aturan hukum yang jelas, dapat dipertanggungjawabkan, dan selalu menghormati hak asasi manusia.

Ketiga, Polri harus menempatkan diri bukan sebagai “alat kekuasaan”, melainkan sebagai pelindung masyarakat. Netralitas dan profesionalitas adalah syarat mutlak agar kepercayaan publik tetap terjaga.

Keempat, Polri perlu mendorong dialog dan pendekatan persuasif dalam menangani unjuk rasa. Pola represif yang sempat terlihat di berbagai negara, seperti Nepal atau Sri Lanka, menunjukkan bahwa penggunaan kekuatan tanpa basis legitimasi hukum justru memperlebar jurang ketidakpercayaan rakyat.

Dengan demikian, relevansi gagasan Prof. Romli bagi Polri adalah penegasan bahwa menjaga stabilitas tidak boleh berarti menutup ruang demokrasi. Polri hanya akan memperoleh legitimasi sebagai institusi keamanan yang dipercaya rakyat bila ia mampu menegakkan hukum secara adil, transparan, dan akuntabel. Inilah jalan bagi Polri untuk menjadi pilar utama negara hukum yang demokratis.(TIM/RED)

×
Berita Terbaru Update